Vladimir Vladimirovich Putin, Presiden Federasi Rusia terpilih pada tahun 2012, saat ini tengah menjadi sorotan dunia atas apa yang terjadi di Suriah, konflik di Ukraina, tuduhan akan memengaruhi hasil pemilu di Amerika Serikat, dan dugaan ingin melemahkan Uni Eropa.
Enam belas tahun lalu saat Putin menjadi presiden, dia digambarkan sebagai sosok yang siap bekerja sama dengan negara Barat. Presiden AS Bill Clinton bahkan menyebut dia sosok yang 'cerdas' dan 'pria dengan potensi luar biasa'.
Namun seiring berjalannya waktu, tampaknya semua harapan itu justru bertolak belakang dengan kenyataan sebenarnya. Putin kini dianggap sebagai pemimpin yang semakin berkuasa di mata negara Barat. Dia juga kini tidak percaya dengan negara Barat.
"Ada perasaan bahwa kini Amerika sudah terbukti bukan satu-satunya negara superpower di dunia," ujar mantan penyiar televisi Vladimir Pozner, seperti dilansir BBC, Rabu (5/10). "Jika Rusia tidak terjebak oleh apa yang diinginkan Amerika maka mereka (AS) akan membayar harga cukup mahal."
Semakin meluasnya pengaruh NATO dipandang oleh Rusia sebagai sebuah ancaman yang nyata. Kalian menekan kami maka kami juga akan balik menekan. Dan kami akan lakukan apa pun untuk membuat kalian merasa tidak nyaman seperti yang kami rasakan.
"Kondisi saat ini cukup berbahaya, bisa menimbulkan konfrontasi nyata, bahkan mungkin mengarah pada pengerahan militer dan perang."
Pekan ini tabloid kondang di Rusia Moskovsky Komsomolets menulis tentang konflik Suriah yang kemungkinan bisa memicu 'konfrontasi militer langsung antara Rusia dan Amerika'. Artinya Perang Dunia Ketiga makin dekat.
Peta konflik Suriah saat ini punya gambaran kurang lebih seperti ini: Rusia bersama Iran, China, mendukung rezim Basyar al-Assad. Sedangkan Amerika, Arab Saudi, Qatar, Yordania, Turki, beserta kelompok oposisi ingin menumbangkan Assad. Belum lagi kelompok-kelompok militan asing yang berdatangan dengan agenda kepentingan masing-masing. Ingin mendirikan negara kekhalifahan di Irak dan Suriah seperti ISIS. Sementara AS dan Saudi mendukung para jihadis macam ISIS untuk melemahkan pemerintah Suriah.
"Selama masa Perang Dingin hubungan kita (AS-Rusia) buruk," ujar Andrey Kortunov, kepala Dewan Urusan Internasional Rusia. "Tapi selama Perang Dingin hubungan itu sedikit banyak lebih stabil karena kami masing-masing tahu apa yang diharapkan dari kedua pihak. Kami paham aturan mainnya.
"Hari ini kondisinya tidak seperti itu. Hubungan jadi tidak stabil. Ini yang membuat hubungan ini lebih berbahaya ketimbang Perang Dingin."
Amerika dan negara Barat menuding Rusia melakukan kejahatan perang di Suriah engan melancarkan serangan udara yang menyasar warga sipil dan pekerja kemanusiaan. Moskow selalu menyangkal tuduhan itu dengan mengatakan mereka menyerang teroris dan pemberontak.
Dua pekan lalu Rusia berang lantaran serangan udara AS dan sekutunya di Deir Ezzor, Suriah, menewaskan 62 tentara Suriah.
AS mengatakan serangan di masa gencatan senjata itu sebetulnya ditujukan kepada para militan ISIS, tapi ternyata salah sasaran. Memang terdengar konyol dan mengada-ada.
Dalam wawancara dengan dengan kantor berita the Associated Press di Damaskus setelah kejadian itu, Presiden Assad mengatakan serangan udara militer Amerika Serikat yang menewaskan 62 tentara Suriah adalah serangan yang disengaja.
"Itu bukan kecelakaan yang dilakukan satu pesawat. Ada empat pesawat yang menyerang posisi pasukan Suriah hampir satu jam atau bahkan lebih dari satu jam," ujar Assad, seperti dilansir Russia Today, Kamis (22/9).
Dua hari lalu tiga pejabat Amerika Serikat mengatakan kepada stasiun televisi Fox News, Rusia kini sudah mengerahkan persenjataan militer modern berupa sistem antirudal ke Suriah buat pertama kali. Ini berarti Rusia ingin meningkatkan operasi militernya di Suriah untuk mendukung rezim Basyar al-Assad, seperti dilansir Fox News, Selasa (4/10).
Meski belum jelas apa tujuan Rusia mengerahkan senjata itu, namun seorang pejabat AS dengan sarkastis bertanya-tanya, "Nusra jelas tidak punya angkatan udara, bukan?" kata dia tentang kelompok jaringan Al Qaidah di Suriah. ISIS juga tidak punya pesawat. Itu artinya Rusia jelas mengerahkan sistem antirudal buat melindungi diri dari segala kemungkinan serangan dari Amerika Serikat dan sekutunya.
Menyusul gagalnya gencatan senjata untuk bantuan kemanusiaan, kondisi di Suriah kini kian tidak menentu. Dua kekuatan besar, AS dan Rusia, saling mengarahkan telunjuk tentang siapa yang salah. Jika kondisi ini berlarut-larut tanpa solusi, bukan tidak mungkin Perang Dunia Ketiga memang sudah dekat.[pan]
https://www.merdeka.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon